Legenda & Sejarah Masyarakat Bima
SEJARAH BIMA
Daerah Bima berada di ujung Timur Pulau Sumbawa, salah
satu pulau di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, selain Pulau Lombok dan pulau
kecil lainnya. Luas wilayah Bima pada saat sekarang diperkirakan 4.596,90 km²
atau 1/3 dari luas Pulau Sumbawa. Bima terletak di tengah-tengah Kepulauan
Nusantara dan di tengah-tengah gugusan pulau-pulau yang sebelum tahun 1950
bernama Sunda Kecil (Bali, NTB, dan NTT sekarang). Samudera Indonesia di
Selatan, Laut Flores di Utara, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa di Barat,
dan Selat Sape di Timur.
Peta Wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat
Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir
dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan
Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang
diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu
Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa
daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk
Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian
pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang
menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai.
Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari
Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang
masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah
yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa,
memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan
wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan
selalumengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil
Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut,
yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada
masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang
berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat
Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5
orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5.
Sang Dewa.
Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur
dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang
bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu
kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar
Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat,
dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat
tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada
masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar
pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju
timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra
Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke
Bima pada abad XIV/ XV. Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan
Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah : - Istilah Tureli
Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. - Tahta Kerajaan yang seharusnya
diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis
lurus keturunan raja.
Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja
Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk
menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja
dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara
keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan
Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan,
kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita.
Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di
atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak
mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di
ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan
Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang
penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan
penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa
yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi
diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti
berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis
Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang
terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang
dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh
Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo.
Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang
menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan.
3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan
4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E. Seiring dengan
perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih
maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang
diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU
No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan
Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik
potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada
masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah
mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima
pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin
meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus
berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah.
Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya
terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai
pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima
memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun
2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima
yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima) Hubungan Darah
Bima-Bugis-Makassar Arus modernisasi dan demokratisasi disegala bidang
kehidupan telah mempengaruhi cara pandang dan cara berpikir seluruh element
masyarakat. Hubungan keakrabatan antar etnis dan bahkan hubungan darah
sekalipun terpisahkan oleh tembok modernisasi dan demokrasi hari ini. Hubungan
keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194
tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua
kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan
Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan
perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota
Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah
pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa.
Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini :
1.
Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah
dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang, yang merupakan adik iparnya
Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil
Khair (Sultan Bima ke-II)
2.
Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II)
menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa
pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin
(Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
3.
Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah
dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari
pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV)
4.
Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah
dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal
8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan
Bima ke- V).
5.
Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah
dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto
Mate'ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan
Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI) 6. Sultan Alaudin
Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca
Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan
ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat
menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13
tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng
Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan
Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara
Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari
pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke-
VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian
diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773.
6.
Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke- VII) dari
pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami
baca- mohon Maaf) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan
Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
7.
Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII)
dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang
kami baca- Mohon Maaf) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. ketika sultan
Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail
diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX
8.
Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari
pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami
baca- Mohon Maaf) melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827
9.
Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah
dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini
abdul Aziz dan Sultan Ibrahim.
10. Sultan
Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin
yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin
kesultanan hingga tahun 1917.
11. Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan
Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang
biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Putra
Kahir ini kemudian Menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari
Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Fery
Zulkarnaen Adalah sangat Ironi memang jika pada hari ini generasi baru dari
kedua Kesultanan Besar ini kemudian tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan
pada zaman kerajaan, pertumbuhan dan perkembangan penduduk Gowa dan Bima
merupakan Etnis yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan masyarakat Gowa pada
umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Etnis Bima (Mbojo) sebagai salah satu
Etnis terpenting dalam perkembangan kekuatan kerajaan Gowa. Dari catatan
sejarah yang dapat dikumpulkan dan dianalisa, hubungan kekeluargaan antara
kedua kesultanan tersebut berjalan sampai pada keturunan ke- IX dari
masing-masing kesultanan, dan jika dihitung hal ini berjalan selama 194 tahun.
Dari data yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan
kesultanan Bima dan Gowa dengan pendekatan kekeluargaan (Darah) terjalin sampai
pada tahun 1819. Analisa ini berawal dari
pemikiran bahwa ada hubungan darah yang masih dekat antara Amas Madina Batara
Gowa Ke- II anaknya Kumala Bumi Pertiga dengan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima
ke- VIII). Karena keduanya masih merupakan saudara sepupu satu kali. Bahkan ada
kemungkinan yang lebih lama lagi hubungan ini terjalin. Yaitu ketika Sultan
Abdul Hamid meninggal pada tahun 1819 dan pada tahun itu juga langsung
digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Sultan Ismail sebagai sultan Bima ke-
IX. Karena Sultan Ismail ini kalau dilihat keturunannya masih merupakan
kemenakan langsungnya Amas Madina Batara Gowa Ke- II, jadi hubungan ini
ternyata berjalan kurang lebih 194 tahun.
Menurut keterangan sumber
yang kami temui, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan
Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900
(pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima
ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab
Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17. Namun, pada catatan
sejarah tersebut tidak tercatat secara jelas.